Kemudahan dalam Kecerdasan Buatan dan Ancaman yang Mengintai

5 jam lalu
Bagikan Artikel Ini
img-content
Ilustrasi kecerdasan buatan. Gambar oleh CarlosOlmos dari Pixabay
Iklan

Ketergantungan berlebihan pada AI dalam pengambilan keputusan kritis membawa risiko kehilangan kendali manusia.

Oleh: Muhamad Jaesa – Mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Mataram

Pendahuluan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Abad 20 menunjukan kemajuan zaman yang sangat berbeda dengan zaman- zaman sebelumnya. Zaman ini menunjukan pesatnya kemajuan teknologi. Kecerdasan buatan sebenarnya sudah dimulai sejak musim panas tahun 1956. Pada waktu itu sekelompok pakar komputer dan peneliti dari disiplin ilmu lain, dan dari berbagai akademi, industri serta berbagai kalangan berkumpul di Dartmouth College membahas potensi komputer dalam rangka menirukan atau mensimulasi kepandaian manusia.

Beberapa ilmuwan yang terlibat adalah Allen Newel, Herbert Simon, Marvin Misky, Oliver Selfridge, dan John McCarthy. Sejak saat itu, para ahli mulai bekerja keras untuk membuat, mendiskusikan, merubah dan mengembangkan sampai mencapai titik kemajuan yang penuh. Mulai dari laboratorium sampai pada pelaksanaan kerja nyata.

Sampailah pada zaman ini yang sudah hampir menuju batas tertinggi dari kecerdasan buatan. Abad 20 menjadi abad kemudahan dan kepraktisan dalam menjalani hidup. Kecerdasan buatan ini merupakan sebuah inovasi yang sangat membantu berbagai jenis kehidupan sehari-hari. Kecerdasan buatan ini bahkan menggusur kesempatan banyak umat dan masyarakat.

Kecerdasan buatan dibalik inovasi dan kemudahanya tentu terdapat banyak ancaman-ancaman yang perlu diperhatikan. Penulis mengambil salah satu contoh studi kasus yang sempat menggemparkan negara belakangan ini yaitu tuduhan ijazah palsu Presiden Republik Indonesia ke-7 menggunakan salah satu keerdasan buatan yaitu teknologi jaringan saraf tiruan (artificial neural networks) digunakan untuk mendeteksi keaslian dokumen.

Kecerdasan buatan dalam bentuk chatbot juga menjadi tren media sosial hari ini dimana banyak orang bisa mengedit foto masa kecil dengan foto masa sekarang bisa saling bertemu bahkan bersentuhan. Pertanyaan kritisnya dibalik kemudahan dan praktisnya pekerjaan dengan bantuan kecerdasan buatan apakah kita pernah memikirkan dampak buruknya?

Melalui tulisan ini penulis ingin memaparkan beberapa ancaman dari kecerdasan buatan terutama Chatbot.

Ancaman Privasi akibat Chatbot (AI)

Penulis sudah memaparkan secara umum mengenai ancaman yang akan muncul akibat kecerdasan buatan melalui bagian pendahuluan. Penulis inginmengutip kalimat yang disampaikan oleh salah satu teknokrat dan konglomeratinternasional yaitu Elon Musk yang menyatakan, “AI lebih berbahaya daripada nuklir”.

Elon Musk melalui kalimat tersebut seakan-akan memberikan peringatan kepada pengguna dan pengembang kecerdasan buatan. Pengguna kecerdasan buatan seakan akan terkesima dan hanyut dalam kemudahan yang didapatkan  dari bantuan kecerdasan buatan. Pengguna yang terlena ini kemudian melupakan ancaman-ancaman yang bisa diakibatkan oleh kecerdasan buatan.

Pengguna chatbot terutama yang dengan leluasa memberikan dan menyampaikan informasi untuk kemudahan. Pengguna juga sering kali menyampaikan informasi-informasi pribadi dan privasi seakan-akan tidak akan mengakibatkan ancaman yang serius di kemudian hari. Ancaman privasi yang bisa diakibatkan oleh kecerdasan buatan ini bisa sangat fatal.

Penulis akan mengambil beberapa risiko memberikan informasi pribadi kepada chatbot antara lain : Data yang diberikan pengguna ke chatbot berpotensi disimpan, dianalisis, bahkan digunakan untuk pelatihan model lebih lanjut. Risiko kebocoran data pribadi. Keterbatasan transparansi perusahaan AI tentang bagaimana data diproses. Ancaman tersebut tentu sangat berbahaya bagi pengguna oleh karena itu melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan sikap hati-hati dalam menggunakan kecerdasan buatan seperti chatbot.

Dampak Sosial Ekonomi

Dampak dan Ancaman pesatnya pengembangan dan penggunaan kecerdasan buatan yaitu terkait dengan hilangnya pekerjaan akibat otomatisasi oleh AI. Meskipun AI meningkatkan efisiensi, tetapi juga dapat mengurangi permintaan tenaga kerja manusia dalam beberapa sektor, yang berpotensi menciptakan ketidaksetaraan ekonomi yang lebih besar.

Selain itu, ketergantungan berlebihan pada AI dalam pengambilan keputusan kritis membawa risiko kehilangan kendali manusia. Kegagalan atau penggunaan AI yang tidak etis dapat menghasilkan konsekuensi yang serius bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Ancaman tersebut akan berdampak luas baik dari segi sosial dan ekonomi masyarakat akibat tergusur dengan perkembangan AI.

Peraturan Tentang Kecerdasan Buatan (AI)

Dikutip melalui website Hukum Online, peraturan yang pertama termuat di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dalam UU tersebut, AI bisa masuk dalam kategori “Agen Elektronik”. Dimana definisi agen elektronik dijelaskan pada Pasal 1 UU ITE, yaitu perangkat dari suatu sistem elektronik yang dibuat untuk melakukan suatu tindakan terhadap suatu Informasi Elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh orang.

Teknologi AI masuk dalam kategori tersebut. Sehingga segala bentuk kewajiban hukum akan dibebankan kepada penyedia perangkat berbasis AI. Meskipun menitikberatkan kewajiban hukum pada penyedia perangkat AI bukan pada pengguna. Pemerintah tak hanya mengandalkan UU ITE. Pada tahun 2020, pemerintah secara resmi menerbitkan Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial Indonesia. Peraturan ini memuat tentang etika, kebijakan teknologi AI, pengembangan talenta AI, sekaligus mengatur ekosistem data dan infrastruktur pengembangan AI. 

Tak hanya itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Sistem dan Transaksi Elektronik. Permenkominfo ini mengatur pengurusan perizinan bagi pelaku usaha yang memanfaatkan teknologi AI. Sehingga setiap usaha atau perusahaan yang akan menggunakan AI, wajib mengurus perizinan usahanya sesuai ketentuan untuk mencegah penyalahgunaan AI. 

Selanjutnya, ada peraturan yang mengatur tentang artificial intelligence berisi panduan etika pemanfaatan AI. Khususnya bagi pelaku usaha. Yakni melalui Surat Edaran Menkominfo Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial. Dalam bidang keuangan di Indonesia, pihak OJK juga menetapkan kebijakan mengenai panduan atau etika penggunaan AI untuk segala bentuk transaksi keuangan. Kebijakan ini oleh OJK diminta dirumuskan oleh Asosiasi Financial Technology Indonesia (AFTECH) bersama asosiasi industri lain. Seperti AFSI, AFPI dan ALUDI. Hasilnya, dirumuskan Panduan Kode Etik Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence/AI) yang Bertanggung Jawab dan Terpercaya di Industri Teknologi Finansial. Panduan kode etik penggunaan AI di bidang keuangan di Indonesia ini resmi terbit pada Desember 2023. 

Lewat panduan ini, setiap penyedia layanan keuangan seperti perbankan memiliki acuan dalam menyediakan layanan berbasis digital. Khususnya yang menggunakan teknologi AI, sehingga tetap menjaga etika, kredibilitas, dan integritas. 

Etika Penggunaan AI Sesuai Kebijakan Kominfo 

Etika penggunaan AI di Indonesia telah memiliki acuan jelas dari Kominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) atau Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi). Etika penggunaan AI menurut Kementerian kominfo mencakup sembilan aspek. Dikutip dari laman Komdigi, jdih.komdigi.go.id, berikut ini adalah sembilan nilai etika kecerdasan buatan meliputi Inklusivitas, Kemanusiaan, Keamanan, Aksesibilitas,  Transparansi, Kredibilitas dan Akuntabilitas, Perlindungan Data Pribadi, Pembangunan dan Lingkungan Berkelanjutan serta Kekayaan Intelektual. Etika penggunaan kecerdasan buatan ini harus tetap diperhatikan agar ancaman yang serius dari penggunaan kecerdasan buatan bisa dihindari.

Penutup

            AI adalah inovasi cerdas yang membawa banyak kemudahan. Namun, privasi, misinformasi, dan ancaman sosial-ekonomi menjadi bayangan yang tidak boleh diabaikan. Regulasi dan etika penggunaan AI harus diperkuat agar teknologi ini tidak berkembang tanpa arah.Sebagai mahasiswa dan generasi muda, kita harus kritis dalam menggunakan chatbot AI. Jangan hanya terpesona oleh kecanggihan, tetapi juga sadar akan risiko yang mengintai. Jika tidak ada pengawasan yang jelas, maka masyarakatlah yang akan menanggung akibatnya.

“AI adalah pisau bermata dua: ia bisa mempermudah hidup, tetapi juga bisa melukai. Oleh karena itu, inovasi ini harus diarahkan untuk memanusiakan teknologi, bukan mengorbankan manusia.”

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler